Rabu, 05 Januari 2011

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH

MANAJEMEN PENINGKATAN

MUTU PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH

A. PENDAHULUAN

Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utama dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan berada pada pendidikan persekolahan. Karena itu,upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional, dan global yang berada di hadapan kita semua.

Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi saat ini sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas ditingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.pendtkatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau ”School Based Management

B. RUMUSAN MASALAH

  1. Definisi MPMBS
  2. Definisi Operasional MPMBS
  3. Tujuan MPMBS
  4. Desentralisasi
  5. Proses MPMBS
  6. Karakteristik
  7. Pilar Keberhasilan MPMBS

C. PEMBAHASAN

1. Definisi MPMBS

Di beberapa negara terdapat berbagai istilah lain untuk MPMBS selain manajemen berbasis sekolah, yaitu site-based management,delegated management, school autonomy, dan local management of school. Walaupun dengan berbagi istilah yang berbeda,namun secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah swasta dan lembaga-lembaga pendidikan pesantren.

Secara konseptual MPMBS,didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan,secara otonomi direncanakan,diorganisasikan,dilaksanakan dan di evaluasi melibatkan semua stake holder sekolah.Sesuai dengan konsep tersebut, MPMBS itu pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.[1]

2. Definisi Operasional MPMBS

Secara operasional MPMBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau kepentingan dengan mutu pendidikan. Istilah”komponen”mencakup kurikulum dan pembelajaran kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, dan keuangan.sudah barang tentu kemandirian tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan penuh,sehingga tetap diperlukan adanya mekanisme kontrol dari pemerintah.Sedangkan yang dimaksud dengan ”pihak terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan” adalah kepala sekolah, guru, orang tua siswa, masyarakat sekitar sekolah, perusahaan yang memakai lulusan sekolah.[2] Definisi operasional tersebut diperjelas melalui gambar berikut :

3. Tujuan MPMBS

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi , mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat, terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.[3]

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000), MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, diharapkan :

1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya, untuk kemudian dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah;

2. Sekolah dapat mengembangkan sendiri proram – program sesuai dengan kebutuhannya.

3. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing–masing kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah; serta

4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Levasic (1995) mengidentifikasikan tiga tujuan manajemen berbasis sekolah, yaitu (1) efisiensi; (2) keefektifan; dan (3) tanggung jawab. Pertama, dengan manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu pendidikan akan berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumber daya manusia. Kedua, dengan manajemen berbasis sekolah, mutu pendidikan sekolah dasar dapat meningkat, melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran. Ketiga, dengan manajemen berbasis sekolah, respon terhadap siswa lebih besar.[4]

4. Desentralisasi

Desentralisasi pendidikan merupakan kebijakan nasional seiring dengan berlakunya otonomi daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dunia pendidikan pada saat ini mengalami perubahan dalam sistem pengelolaannya. Jika selama ini segala sesuatu ditentukan dan direncanakan oleh pemerintah pusat (sentralisasi), sekarang lebih oleh daerah masing-masing (konteks kedisinian). Manajemen pendidikan berbasis sekolah (MPBS) adalah implikasi dan konsekuensi logis dengan diterapkannya desentralisasi pendidikan.

Desentralisasi pendidikan menguntungkan bagi daerah untuk dapat melaksanakan apa yang menjadi kebutuhannya. Beranjak dari situ, maka setiap sekolah yang berada di setiap daerah dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (kota dan kabupaten), memiliki kewenangan untuk mendorong sekolah menerapkan manajemen sekolah yang sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

Sementara itu menurut Depdiknas (2001 : 21-24) fungsi-fungsi yang dapat disentralisasikan ke sekolah adalah :

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah

Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah yang diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi internal / evaluasi diri.

2. Pengelolaan kurikulum

Sekolah dapat mengembangkan kurikulum namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.

5. Proses MPMBS

Menurut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91), proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS) adalah[5]:

1. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah

2. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;

3. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;

4. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;

5. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;

6. Implikasi sumber daya dalam pelaksanan program prioritas;

7. Pelaporan hasil.

Secara umum proses MPMBS adalah sebgai berikut[6]:

1. Pengembangan visi sekolah;

2. Evaluasi diri dalam rangka mengidentifikasi berbagai kebutuhan pengembangan;

3. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan;

4. Perumusan tujuan;

5. Penyusunan program peningkatan;

6. Implementasi program;

7. Evaluasi diri untuk peningkatan mutu berikutnya.

Ketujuh langkah tersebut divisualisasikan melalui gambar berikut:

6. Karakteristik

Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberpa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing fihak antara lain sebagai berikut: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) Sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai; (3) Sekolah memilki kepempimpinan yang kuat; (4) Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu; (7) Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat lainnya.

Uraian di atas menyiratkan bahwa pendekatan MPBS menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah, yaitu: kepala sekolah, guru, dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat, dalam memandang, memahami, dan membantu sekolah melaksanakan tugas pengelolaannya. Dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang representatif dan valid mereka dapat berperan sebagai pemantau yang melaksanakan fungsi monitoring dan evaluasi.

7. Pilar keberhasilan MPMBS

Secara konseptual MPMBS dapat didefinisikan sebagai Proses Manajemen Sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan yang direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolahdengan melibatkan semua elemen yang terkait dengan sekolah. Terdapat empat pilarpenerapan MPMBS di sekolah[7]:

1. Pilar Mutu dalam MPMBS

2. Pilar Kemandirian

3. Pilar Partisipasi

4. Pilar Transparansi

D. Kesimpulan

Manajemen peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu langkah baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Hal ini di dorong setelah berlakunya otonomi daerah sehingga munculah desentralisasi sekolah. Dimana sekolah mempunyai hak yang besar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.

E. Penutup

Demikian makalah ini saya buat, kiranya ada kata atau kalimat yang salah, saya mohon maaf. Saya juga memerlukan kritik dan saran untuk perbaikan demi makalah yang akan datang.

F. Daftar pustaka

Bafadel, Ibrahim. Manajemen Peningkatan Mutu SD Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.2006 cet. 2

Siahaan, MPd, Drs. Amiruddin, dkk. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. 2006. Ciputat: Ciputat Press Group

Mulyasa MPd, Dr. E. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya



[1] Bafadel, Ibrahim. Manajemen Peningkatan Mutu SD Berbasis Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.2006 cet. 2 hlm. 81

[2] Ibid. hlm. 82

[3] Mulyasa MPd, Dr. E. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 25

[4] Ibid. hlm. 82

[5] Siahaan, MPd, Drs. Amiruddin, dkk. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. 2006. Ciputat: Ciputat Press Group. Hlm. 6

[6] Opcit. Hlm. 92

[7] Ibid. hlm. 92

MAKALAH PERAN PENDIDIKAN BAGI TENAGA KERJA TERDIDIK

MAKALAH PERAN PENDIDIKAN

BAGI TENAGA KERJA TERDIDIK

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah manajemen pendidikan

Dosen Pengampu: Drs. Jasuri ,M.Pd


Nama : M ABDUL FATAH

NIM : 093611030

Kelas : TF-3

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

WALISONGO SEMARANG

PERANAN PENDIDIKAN BAGI TENAGA KERJA TERDIDIK

I. PENDAHULUAN

Persoalan ketenagakerjaan selalu mendapat perhatian yang serius dari berbagai kalangan, baik pemerintah, swasta maupun dari masyarakat. Kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan ini dapat dipandang sebagai suatu upaya masing-masing individu untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak kehidupan yang melekat pada manusia agar memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidup.

Tujuan pembangunan nasional, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan dan berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah negara kesatuan republik indonesia yang didukung oleh manusia yang sehat, mandiri dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Dari tujuan tersebut tercermin bahwa sebagai titik sentral pembangunan adalah pemberdayaan sumber daya manusia termasuk tenaga kerja, baik sebagai sasaran pembangunan maupun sebagai pelaku pembangunan. Dengan demikian, pembangunan ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek pendukung keberhasilan pembangunan nasional. Di sisi lain, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan nasional tersebut, khususnya dibidang dibidang ketenagakerjaan, sehingga diperlukan kebijakan dan upaya dalam mengatasinya.

Sehubungan hal tersebut di atas pengembangan SDM di Indonesia dilakukan melalui tiga jalur utama, yaitu pendidikan, pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Tenaga Kerja Terdidik

B. Pendidikan Tenaga Kerja Terdidik

C. Peran Pendidikan Bagi Tenaga Kerja Terdidik

III. PEMBAHASAN

A. Tenaga Kerja Terdidik

Menurut UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam batas usia kerja. Tenaga kerja disebut juga golongan produktif. Tenaga kerja dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja terdiri atas orang yang bekerja dan menganggur. Jika ada saudara kalian yang sedang mencari pekerjaan, maka ia termasuk dalam angkatan kerja. Sedangkan golongan bukan angkatan kerja terdiri atas anak sekolah, ibu rumah tangga, dan pensiunan. Golongan bukan angkatan kerja ini jika mereka mendapatkan pekerjaan maka termasuk angkatan kerja. Sehingga golongan bukan angkatan kerja disebut juga angkatan kerja potensial.

Tenaga kerja merupakan faktor produksi insani yang secara langsung maupun tidak langsung menjalankan kegiatan produksi. Faktor produksi tenaga kerja juga dikategorikan sebagai faktor produksi asli. Dalam faktor produksi tenaga kerja, terkandung unsur fisik, pikiran, serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Oleh karena itu, tenaga kerja dapat dikelompokan berdasarkan kualitas (kemampuan dan keahlian) dan berdasarkan sifat kerjanya.

Berdasarkan kualitasnya, tenaga kerja dapat dibagi menjadi tenaga kerja terdidik, tenaga kerja terampil, dan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih. Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tertentu sehingga memiliki keahlian di bidangnya, misalnya dokter, insinyur, akuntan, dan ahli hukum. Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memerlukan kursus atau latihan bidang-bidang keterampilan tertentu sehingga terampil di bidangnya. Misalnya tukang listrik, montir, tukang las, dan sopir. Sementara itu, tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja yang tidak membutuhkan pendidikan dan latihan dalam menjalankan pekerjaannya. Misalnya tukang sapu, pemulung, dan lain-lain.

Berdasarkan sifat kerjanya, tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja rohani dan tenaga kerja jasmani. Tenaga kerja rohani adalah tenaga kerja yang menggunakan pikiran, rasa, dan karsa. Misalnya guru, editor, konsultan, dan pengacara. Sementara itu, tenaga kerja jasmani adalah tenaga kerja yang menggunakan kekuatan fisik dalam kegiatan produksi. Misalnya tukang las, pengayuh becak, dan sopir.

B. Pendidikan Tenaga Kerja Terdidik

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap yang cakap adalah yang diharapkan ada pada diri anak didik.

Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,dosen,pamong belajar,tutor,instruktur,dsb,serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dalam konteks pendidikan dasar menengah pendidik adalah guru. Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik,mengajar,membimbing,mengarahkan,melatih,menilai,dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,penndidikan dasar,dan pendidikan menengah. Kedudukan guru bertujuan untuk melakasanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidkan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,berakhlak mulia,sehat,berilmu,cakap,kreatif,mandiri,serta menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa “seorang pendidik (guru) harus memiliki kualifikasi,kompetensi,dan sertifikasi. Kualifikasi bagi pendidik meliputi kualifikasi akademik,kompetensi,sertifikat pendidik,sehat jasmani dan rohani,serta memiliki kemampuan untu mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Sedangkan kompetensi pendidik adalah mencakup kompetensi pedagogic,kompetensi kepribadian,kompetensi sosial dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Berbicara mengenai kedudukan guru sebagai tenaga professional, akan lebih baik jika diketahui terlebih dahulu mengenai maksud kata profesi. Pengertian profesi memiliki banyak konotasi, salah satu diantaranya tenaga pendidikan, termasuk guru. Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Sardiman (2006:163) menjelaskan bahwa pekerjaan professional akan senantiasa menggunakan teknik dan prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan demi kepentingan sosial.
Dalam kajian ini, penulis memisahkan hakikat seorang pekerja professional antara guru dengan seorang teknisi. Pekerja professional tidak hanya menguasai sejumlah teknik serta prosedur kerja tertentu, tetapi juga ditandai adanya informed responsiveness terhadap implikasi kemasyarakatan dari objek kerjanya. Hal ini berarti bahwa seorang pekerja professional atau guru yang telah memiliki sertifikat professional harus memiliki persepsi filosofis dan tanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Kompetensi seorang teknisi lebih bersifat mekanik dalam arti sangat mementingkan kecermatan, sedangkan kompetensi seorang guru sebagai tenaga professional kependidikan, ditandai dengan serentetan diagnosis, rediagnosis, dan penyesuaian yang terus-menerus. Dalam hal ini di samping kecermatan untuk menentukan langkah, guru harus juga sabar, ulet dan “telaten” serta tanggap terhadap setiap kondisi, sehingga diakhir pekerjaannya akan membuahkan suatu hasil yang memuaskan.


Westby dan Gibson (dalam Sardiman:1981), mengemukakan cirri-ciri keprofesian di bidang kependidikan sebagai berikut : (1) Diakui oleh masyarakat dan layanan yang diberikan hanya dikerjakan oleh pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi. (2) Memiliki sekumpulan bidang ilmu pengetahuan sebagai landasan dari sejumlah teknik dan prosedur yang unik. Sebagai contoh misalnya profesi dibidang keguruan, harus pula mempelajari psikologi, metodik, komputer dan lain-lain. (3) Diperlukan persiapan yang sengaja dan sistematis, sebelum yang bersangkutan itu dapat melaksanakan pekerjaan professional. (4) Memiliki mekanisme untuk menyaring sehingga orang yang berkompeten saja yang diperbolehkan bekerja. (5) Memiliki organisasi professional untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat.

Pengertian profesi dengan segala ciri dan persyaratannya tersebut akan membawa konsekuensi yang fundamental terhadap program pendidikan. Salah satu konsekuensi itu diantaranya adalah berkenaan dengan accountability dari program pendidikan itu sendiri. Bagi guru yang merupakan tenaga professional dibidang kependidikan dalam kaitannya dengan accountability, bukan berarti tugasnya menjadi lebih ringan, justru menjadi lebih berat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

C. Peran Pendidikan Bagi Tenaga Kerja Terdidik

Sejarah umat manusia menunjukkan ,bahwa pendidikan selamanya mengabdi pada nilai – nilai agung dan luhur bagi manusia dan kemanusiaan. Memang pada manusia terdapat kecenderungan yang baik,mulia dan terpuji. Tetapi disamping itu juga terdapat kecenderungan yang tercela dan tak beradfab. Dalam sepanjang sejarah manusia senantiasa terlihat penampilan tingkah laku mulia dan terpuji disamping perbuatan tercela dan mungkar. Pendidikan dalam sepamjang sejarahnya senantiasa mewakili cita- cita luhur manusia untuk menjinakkan kecenderungan- kecenderungan tercela dan menghidupkan kecenderungan terpuji. Komisi internasional pengembangan pendidikan yang dipimpin oleh Edgar Faure menyebutkan dalam laporannya ,bahwa upaya pendidikan sepanjang masa senantiasa membawa tugas suci dan mulia bagi nmanusia dan kemanusiaan.

Jalur pendidikan merupakan tulang punggung pengembangan SDM yang dimulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sementara itu, jalur pelatihan dan pengembangan karir di tempat kerja merupakan jalur suplemen dan komplemen terhadap pendidikan.

Arah pembangunan SDM di indonesia ditujukan pada pengembangan kualitas SDM secara komprehensif meliputi aspek kepribadian dan sikap mental, penguasaan ilmu dan teknologi, serta profesionalisme dan kompetensi yang ke semuanya dijiwai oleh nilai-nilai religius sesuai dengan agamanya. Dengan kata lain, pengembangan SDM di Indonesia meliputi pengembangan kecerdasan akal (IQ), kecerdasan sosial (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Berbagai tantangan seperti itu, memerlukan konsep, strategi dan kebijakan yang tepat agar pengembangan SDM di Indonesia dapat mencapai sasaran yang tepat secara efektif dan efisien. Hal ini penting dilakukan karena peningkatan kualitas SDM Indonesia tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing di dalam maupun diluar negeri, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan penghasilan bagi masyarakat.

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

IV.KESIMPULAN

Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tertentu sehingga memiliki keahlian di bidangnya, misalnya dokter, insinyur, akuntan, dan ahli hukum.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Arah pembangunan SDM di indonesia ditujukan pada pengembangan kualitas SDM secara komprehensif meliputi aspek kepribadian dan sikap mental, penguasaan ilmu dan teknologi, serta profesionalisme dan kompetensi yang ke semuanya dijiwai oleh nilai-nilai religius sesuai dengan agamanya

V. PENUTUP

Demikian makalah ini saya buat, kiranya ada kata atau kalimat yang salah, saya mohon maaf. Saya juga memerlukan kritik dan saran untuk perbaikan demi makalah yang akan datang.

VI. DAFTAR PUSTAKA

1 Tim Dosen FIP-IKIP Malang.1981.Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.Surabaya:Usaha Nasional

2 Makmun,AbinSyamsuddin.2010.PengelolaanPendidikan.Bandung:Pustaka Educa

3 Http://ispi.or.id/2010/06/19/peranan +pendidikan+bagi =Tenaga +kerja +terdidik

Http://ispi.or.id/2010/06/19/peranan +pendidikan+bagi =Tenaga +kerja +terdidik

Makmun,AbinSyamsuddin.2010.PengelolaanPendidikan.Bandung:Pustaka Educa

Tim Dosen FIP-IKIP Malang.1981.Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan.Surabaya:Usaha Nasional